Sejarah Kerajaan Tarumanegara

Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan kerajaan Kutai, yaitu sekitar 450 Masehi, di sekitar wilayah Jawa Barat dan Banten muncul Kerajaan Tarumanegara yang beribukota di Jayasinghapura. Nama Tarumanegara diduga berasal dari taruma yang berarti nila. Para ahli belum dapat memastikan keterkaitan nama Tarumanegara dengan nama sebuah sungai , yakni Citarum yang mengalir di Jawa Barat. 

Keberadaan Kerajaan Tarumanegara diketahui dari tujuh buah prasasti, dua arca wisnu, dan berita China. Lima prasasti ditemukan di Bogor, sedangkan sisanya masing-masing berada di Jakarta dan Banten. Adapun Prasasti yang terdapat di Bogor adalah sebagai berikut :

a. Prasasti Ciaruteun yang terketak dipinggir sungai Ciaruteun dan bermuara didekat sungai Cisadane. Prasasti ini sebelumnya dikenal dengan nama prasasti Ciampea.

b. Prasasti Jambu atau prasasti Koleangkak, terletak di daerah perkebunan Jambu,berjarak 30 km sebelah barat Bogor.

c. Prasasti kebon kopi, terletak dikampung muara Hilir, Cibungbulang.

d. Prasasti pasir awi di muara Cianten.

e. Prasasti muara Cianten di muara Cianten.

Prasasti yang terdapat di Banten, yaitu prasasti Cidanghiang atau prasasti Lebak. Prasasti Cidanghiang ditemukan dipinggir sungai Cidanghiang, pandeglang. Adapun prasasti yang terdapat di Jakarta adalah prasasti tugu. Prasasti tugu merupakan prasasti yan gterkahir ditemukan. Prasasti ini memiliki berita paling panjang dibanding prasasti-prasasti lain yang berkisah tentang kerajaan Tarumanegara.


Dalam prasasti tugu dikatakan bahwa Raja Purnawarman telah menggali sungai Gomati dalam masa pemerintahannya yang ke-22. Panjang sungai 6122 busur (sekitar 12 km). Yang dikerjakan dalam waktu 21 hari. Sungai ini dibuat setelah sebelumnya masyarakat selesai melakukan penggalian sungai Chandrabhaga. Pada akhir pekerjaan penggalian, Raja Purnawarman sebagai Raja kerajaan Tarumanegara memberikan hadiah 1000 ekor lembu kepada para Brahmana.


Sungai Gomati digali untuk mengantisipasi bahaya banjir aliran sungai Chandrabhaga. Upaya Purnawarman ini menyiratkan betapa penuh perhatian seorang Raja kerajaan Tarumanegara kepada rakyatnya. Pekerjaan menggali sungai dilakukan secara bergotong royong dan tanpa paksaan. Hal ini memberi arti Raja Purnawarman telah berhasil menciptakan suasana damai dan tenteram di kerajaannya.

Prasasti-prasasti peniggalan kerajaan Tarumanegara ditulis dengan huruf pallawa dengan bahasa Sansekerta. Bentuknya syair. Agama yang menentukan corak pikiran sang raja adalah agama Hindu. Buktinya, pada prasasti Ciaruteun terdapat lukisan dan tapak kaki raja seperti kaki Wisnu. Wisnu ialah dewa pemelihara alam dalam agama Hindu. Didalam prasasti kebon kopi terdapat pula gambar tapak kaki gajah sang raja yang disamakan dengan tapak kaki gajah Airawata, yaitu gajah Indra.

Selain prasasti, berita kerajaan Tarumanegara juga diperoleh dari Cina. Orang-orang Cina menyebut kerajaan Tarumanegara dengan sebutan To-lo-mo. Pada masa Dinasti sui dan Dinasti Tang. Beberapa kali kerajaan Tarumanegara mengirimkan utusan ke negeri Cina. Hal ini menyiratkan bahwa keberadaan Tarumanegara telah diakui kekaisaran Cina dan hubungan diplomatik telah terjalin antara keduanya. Demikian juga Fa Hien, seorang pendeta Cina pernah singgah di kerajaan Tarumanegara selama lima bulan pada tahun 414 Masehi. menurutnya agama yang dianut masyarakat Tarumanegara bukan hanya Hindu, melainkan juga agama Buddha dan agama “kotor”. Penganut agama Buddha sedikit sekali. Demikian pula agama Hindu yang baru mempengaruhi kalangan istana. Berbeda halnya dengan agama “kotor” yang dianut oleh bagian terbesar dari rakyat Tarumanegara. Menurut para ahli, agama “kotor” tersebut adalah kepercayaan masyarakat yang memuja roh nenek moyang (animisme).

Pada awal abad ke-5 Masehi penduduk kerajaan Tarumanegara telah mampu mengusahakan pertanian, peternakan, perikanan, perburuan binatang, pelayaran, perdagangan dan pertambangan. Pertanian yang dikerjakan terutama padi yang merupakan makanan pokok penduduk. Peternakan yang dilakukan misalnya Lembu, terbukti dengan adanya upacara yang menghadiahkan 100 ekor lembu kepada para Brahmana. Kegiatan perikanan berupa produksi kulit penyu. Perburuan binatang bukan hanya terhadap binatang yang diambil dagingnya, melainkan juga badak dan gajah yang dapat diambil cula dan dagingnya sebagai komoditas ekspor. Usaha pertambangan dapat diketahui dari berita Cina yang mengatakan negaranya mendapatkan emas, perak dan benda perunggu dari kerajaan Tarumanegara.

Kerajaan Tarumanegara ternyata menaruh perhatian juga pada bidang kesenian, khususnya seni patung. Hal ini diketahui dari penemuan dua arca wisnu di desa cibuaya, karawang. Bentuk kedua arca memperlihatkan aliran seni di Jawa Barat pada saat itu. Arca ini ternyata mempunyai persamaan dengan langgam seni patung dari India pada abad ke-7 Masehi. Beberapa ahli menyebutkan bahwa tarumanegara sempat menjadi salah satu pusat seni pada abad tersebut.

Akhir dari keberadaan kerajaan tarumanegara tidak begitu jelas. Berita Cina hanya menyebutkan bahwa utusan terakhir Tarumanegara yang datang ke negaranya, yaitu pada tahun 666 dan 669 Masehi. oleh sebab itu, beberapa ahli menduga kerajaan tarumanegara runtuh pada abad ke-7.


Readmore..

Sejarah kerajaan Melayu

Berita pertama kali yang menerangkan kerajaan melayu di Sumatera, yaitu dari Dinasti Tang. Menurut catatan Dinasti Tang, utusan ke negeri mo-lo-yeu (melayu) pernah datang ke Cina pada tahun 644 dan 645 masehi. mereka datang ke Cina dengan membawa hasil Bumi. Hasil Bumi yang dipersembahkan itu bukan merupakan upeti sebagi tanda takluk melayu kepada Cina, melainkan sebagai upaya promosi hasil Bumi melayu ke negeri Cina. 

Banyak ahli yang berpendapat bahwa kerajaan melayu di daerah Jambi sekarang ini. Melayu terletak didekat selat Malakayang merupakan jalan perdagangan India-Cina. Oleh karena itu, banyak kapal asing yang berlabuh di melayu sambil menunggu angin yang baik sebelum melanjutkan perjalanan. Selain itu, kapal-kapal asing tersebut dapat memperbaiki peralatan kapal, melakukan bongkar muat barang, dan menambah perbekalan. Pada saat itu pelabuhan melayu telah berperan sebagai tempat menimbun barang dagangan yang dihasilkan daerah-daerah sekitarnya. Barang komoditas itu diantaranya lada dan hasil hutan. Kondisi ini tentu saja menguntungkan dan memakmurkankerajaan melayu.

Seorang pendeta Cina bernama I-tsing mengabarkan bahwa sejak tahun 692 kerajaan melayu telah ditaklukkan kerajaan Sriwijaya. Setelah itu sampai permulaan abad ke-12 tidak ada keterangna sedikitpun mengenai negeri melayu. Untuk membuktikan persahabatan, Raja kertanegara mengirimkan Arca Amogapasha beserta keempat belas pengiringnya ke melayu. Pada alas arca tersebut dituliskan bahwa Kertanegara menghadiahkan arca bagi srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa. Arca Amogapasha kemudian diletakkan ditempat suci Dharmasraya. Saat ini prasasti Arca Amogapasha berada di padangroco (Sumatera) yag bertarikh 1286 M.

Dalam perkembangan selanjutnya, Kerajaan Melayu mampu memainkan peran kembali di Sumatera pada pertengahan abad ke-14. Pada saat itu melayu diperintah seorang Raja bernama Adityawarman. Nama Adityawarman disebutkan pada Arca Manjusri di candi Jago, Jawa Timur. Didalam prasasti tersebut diterangkan bahwa Adityawarman bersama-sama Gajah Mada telah berhasil menaklukkan pulau Bali.

Sebenarnya Adityawarman merupakan salah seorang putra Majapahit keturunan melayu. Ia adalah putra dari perkawinan Raden Wijaya dengan Dara Jingga. Sebelum menjadi Raja di kerajaan melayu, ia pernah menjabat wredhamenteri (menteri tua) di Majapahit dengan gelar aryadewaraja pu Aditya. Setelah berkuasa di melayu, ia menyusun kekuatan untuk melebarkan kekuasaan di Sumatera. Hasilnya, pada tahun 1347 Melayu dapat meluaskan wilayah sampai ke daerah pagaruyung (minangkabau). Adityawarman adalah seorang penganut Buddha Tantrayana. Ia menganggap dirinya sebagai penjelmaan Lokeswara, sehingga setelah meninggal dunia diwujudkan dalam bentuk arca Bhairawa. Masa pemerintahan Adityawarman berlangsung sampai tahun 1375. Penggantinya ialah anaknya yang bernama Anangwarman. Masa pemerintahan Anangwarman tidak banyak diketahui sumber sejarahnya
.

Readmore..

Sejarah kerajaan Kanjuruhan

kerajaan yang pertama kali muncul di Jawa Timur adalah Kerajaan Kanjuruhan. Banyak dari para ahli menduga bahwa Kanjuruhan merupakan kelanjutan Kerajaan Ho-ling yang pusat kekuasaannya dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Munculnya Kanjuruhan diketahui dari prasasti Dinoyo di daerah Malang yang berangka 760, menggunakan huruf Kawi dan berbahasa Sansekerta. 

Didalam prasasti Dinoyo diceritakan bahwa Kerajaan Kanjuruhan diperintah oleh Raja Dewasimha, setelah meninggal, Ia digantikan oleh putranya Limha yang kemudian beralih nama menjadi Gajayana. Gajayana beragama Hindu yang memuja dewa Agastya. Ia membangun sebuah candi yang indah untuk sang Agastya. Ia pun membuat membuat arca yang melukiskan agastya dari batu hitam yang sebelumnya dibuat dari kayu cendana. Bersamaan dengan pentasbihan bangunan suci tersebut. Gajayana menganugerahkan sebidang tanah, sapi dan kerbau, serta budak laki-laki dan perempuan sebagai penjaga kepada para pendeta. Selain itu, Raja mengutuk bagi mereka yang tidak mau memelihara bangunan suci beserta kelengkapannya.

Pusat kekuasaan Kerajaan Kanjuruhan berada di Desa Kejuron sekarang ini. Disebelah utara desa tersebut, terdapat bangunan Purbakala peninggalan kerajaan Kanjuruhan , yaitu Candi Badut. Letak candi Badut tepatnya di desa Badut sekitar 9 km dari Malang. Candi Badut merupakan candi tertua di Jawa Timur. Seni bangunan candi masih berlanggam Jawa Tengah, karena memiliki serambi pada tubuh candi. Bangunan kuno keagamaan tersebut bersifat Siwaisme (Hindu yang memuja Siwa). Buktinya di ruang tengah terdapat Lingga Yoni, di relung utara ada arca Durga dan di bagian halaman bangunan terdapat arca Nandi.

Kerajaan Kanjuruhan tidak lama berkembang. Kanjuruhan mungkin ditaklukkan oleh Mataram dan para penguasanya menjadi Raja Bawahan dengan gelar Rakyan Kanuruhan. Para ahli berpendapat, Rakai Wakutuka menaklukkan Kerajaan Kanjuruhan disekitar awal abad ke-10

.

Readmore..

Sejarah Kerajaan Kediri

Lahirnya Kerajaan Kediri berkaitan dengan adanya pembagian kekuasaan di Kerajaan Mataram. Airlangga membagi Kerajaan bertujuan untuk menghindari terjadinya perang saudara di Mataram. Setelah Mataram dibagi dua oleh Mpu Bharada,muncullah Panjalu dan Janggala yang dibatasi oleh gunung Kawi dan sungaiBrantas. Kerajaan Panjalu diberikan kepada Samarawijaya, iparnya, sedangkan Janggala diberikan kepada Mapanji Garasakan, anaknya yang kedua. Anak pertama Airlangga adalah seorang putri yang menjadi Pertapa. Sumber sejarah yang menceritakan pembagian kerajaan terdapat dalam prasasti Wurara (1289 M), kitab Negarakertagama, dan kitab Calon arang. 

Dalam perkembangan selanjutnya, ibukota kerajaan panjalu di Daha dipindahkan ke wilayah Kediri, sehingga nama kerajaan lebih dikenal sebagai Kerajaan Kediri. Selama kekuasaan Samarawijaya, Kerajaan Kediri dan Janggala tidak pernah hidup berdampingan secara damai. Perebutan kekuasaan terus berlangsung hingga pada tahun 1052, Mapanji Garasakan dapat mengalahkan Samarawijaya. Namun Mapanji Garasakan tidak lama memimpin kerajaan. Tampuk pemerintahan lalu jatuh kepada Mapanji Alanjung Ahyes, dan kemudian beralih lagi ke Samarotsaha. Setelah Samrotsaha berkuasa, selama kira-kira 60 tahun tidak ada berita mengenai keadaan kediri dan Janggala. Mungkin selama itu terjadi perebutan kekuasaan diantara keduanya dan pihak yang memenangkan persaingan tidak begitu jelas beritanya.

Pada tahun 1117 Kerajaan Kediri dipimpin oleh Bameswara. Namun masa pemerintahannya tidak banyak diketahui. Bameswara digantikan oleh Jayabhawa. Pada masa Jayabhawa (1135-1157) Kerajaan Kediri mencapai puncak kejayaan. Jayabhawa disebut sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Ketika Ia berkuasa, pertentangan dengan Janggala berakhir setelah Ia dapat menguasai kerajaan tersebut. Dua Pujangga terkenal, Mpu Sedah dan Mpu Panuluh kemudian mengubah syair Bharatayudha sebagai peringatan atas peperangan antara Kediri dan Janggala.

Sepeninggal Jayabhaya, Kerajaan Kediri berturut-turut dipimpin oleh Sarweswara, Aryyeswara, Kroncaryyadipa, Kameswara dan Kertajaya. Kertajaya (1185-1222) adalah Raja terakhir Kerajaan Kediri. Dalam masa pemerintahannya terjadi pertentangan antara dirinya dan para Brahmana. Pertentangan itu disebabkan Kertajaya dianggap telah melanggar adat dan memaksa para Brahmana menyembahnya sebagai Dewa. Para Brahmana kemudian meminta perlindungan kepada Ken Arok. Pada tahun 1222 pecahlah pertempuran antara pasukan Ken Arok dan prajurit Kertajaya di Ganter. Dalam peperangan ini Ken Arok dapat mengalahkan Kertajaya sehingga runtuhlah Kerajaan Kediri. Sejak saat itu muncullah kerajaan baru Singhasari.

Pada masa Kerajaan Kediri , seni sastra, terutama Jawa Kuno tumbuh dengan pesat. Namun karya-karya sastra masa Kerajaan Kediri kurang mengungkap keadaan pemerintahan dan masyarakat pada zamannya. Gambaran kehidupan masa Kediri justru ditulis sumber asing, yaitu orang Cina. Misalnya, didalam kitab Ling-wai-tai-ta (1178) karya Chou Ku-fei yang menerangkan orang-orang Kediri memakai kain sampai lutut, rambutnya diurai, rumah-rumah telah teratur dan bersih, pertanian dan perdagangan telah maju, orang-orang yang salah didenda dengan emas , kecuali pencuri dan perampok yang dibunuh, telah digunakan mata uang perak, orang sakit tidak lagi menggunakan obat, tetapi memohon kesembuhan kepada para dewa atau kepada Buddha, tiap bulan ke-5 diadakan pesta air, alat musik yang digunakan berupa seruling, gendang dan gambang dari kayu.

Selain itu kitab Chu-fan-chi (1225) karya Chau Ju-kua mengatakan bahwa so-ki-tan yang merupakan bagian dari She-po (Jawa) telah memiliki daerah-daerah taklukan. Para ahli memperkirakan Su-ki-tan adalah sebuah kerajaan yang berada di jawa Timur, yang tak lain adalah Kerajaan Kediri. Mungkin juga Su-ki-tan sebagai kota pelabuhan yang telah dikenal para pedagang dari luar negeri, termasuk Cina
.

Readmore..

Sejarah Kerajaan Sriwijaya

Di dalam catatan sejarah Dinasti Tang dikatakan bahwa pada abad ke-7 di pantai timur Sumatera selatan telah berdiri Kerajaan She-li-fo-she atau Sriwijaya. Sumber sejarah yang berasal dari kerajaan Sriwijaya sendiri diperoleh dai enam buah prasasti yang tersebar di Sumatera bagian selatan dan Pulau Bangka. 

Sumber-sumber asing yang menerangkan Kerajaan Sriwijaya cukup banyak. Sumber-sumber itu antara lain prasasti ligor (775 M) di pantai timur Thailand Selatan, prasasti Nalanda (pertengahan abad ke-9)dan prasasti Tanjore (1030 M) di India. Sumber amat penting lain diperoleh dari hasil perjalanan I-tsing, seorang pendeta Buddha Cina. Ia pernah mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 Masehi dan tinggal selama enam bulan. Ia singgah lagi pada tahun 688 Masehi dan tinggal selama tujuh tahun. Selama di perantauan, I-tsing berhasil menerjemahkan beberapa buah kitab agama Buddha dari bahasa Sansekerta kedalam bahasa Cina.

Dari prasasti-prasasti dii Sumatera diketahui bahwa pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya selalu berubah-ubah. Semula berpusat di Minanga Tamwan, lalu pindah ke Jambi, dan terakhir di Palembang. Penyebab kepindahan itu sebenarnya tidak begitu jelas. Hal ini diketahui, yaitu pada abad ke-7 Sriwijaya berusaha meluaskan wilayahnya dengan menaklukkan kerajaan melayu, Jambi Hulu, dan pulau Bangka. Tujuannya adalah menguasai laut di sekitar pulau Bangka yang menjadi simpang tiga pelayaran India-Indonesia-Cina.


Raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Sriwijaya, antara lain Dapunta Hyang Sri Jayanegara, Dharmasetu, Balaputeradewa, Cudamaniwamadewa, dan Sanggramawijayotunggawarman. Di dalam prasasti Kedukan bukit diceritakan bahwa Dapunta Hyang mengadakan perjalanan suci dengan perahu. Ia berangkat dari Minanga Tamwan dengan membawa tentara sebanyak 20.000. dalam perjalanan ini ia berhasil menaklukkan beberapa daerah. Ia berhasil membawa Sriwijaya menjadi negara yang makmur. Selanjutnya, dalam prasasti Ligor diketahui bahwa Raja Dharmasetu berhasil mengembangkan sayap kerajaan sampai ke semenanjung melayu. Hal ini dibuktikan dengan adanya pangkalan di semenanjun melayu, di daerah Ligor. Adapun masa pemerintahan Balaputeradewa tercatat dalam prasasti Nalanda, India. Pada abad ke-9 Balaputeradewa berhasil membawa Sriwijaya ke puncak kejayaan. Ia juga berhasil mengangkat Kerajaan Sriwijaya untuk diakui sebagai begara maritim, pusat perdagangan, dan pusat penyebaran agama Buddha.


Kerajaan Sriwijaya ternyata menjalankan politik ekspansif (perluasan kekuasaan). Pada abad ke-9 Raja Balaputeradewa dapat memperluas wilayah Sriwijaya. Wilayah itu meliputi Sumatera, Jawa Barat, Kalimantan Barat, bangka, Belitung, Malaysia, Singapura, dan Thailand selatan. Sungguh luas bukan? Oleh karena itu, Sriwijaya dapat dikatakan sebagai negara nasional pertama di Indonesia.

Kerajaan Sriwijaya terletak pada wilayah strategis, yaitu di jalur pelayaran India-Cina. Letak strategis di tepi selat Malaka ini memberi peluang untuk meningkatkan kemajuan di sektor ekonomi, terutama bidang perdagangan. Banyaknya kapal-kapal asing yang singgah menyebabkan Sriwijaya maju pesat. Untuk menjamin keamanan kawasan, Sriwijaya membangun armada laut yang kuat. Hal ini membuat kapal-kapal asing yang lewat merasa aman dari gangguan para perompak. Penguatan armada laut tersebut semula hanya ditujukan untuk melindungi kepentingan para pedagang. Lambat laun Sriwijaya berkembang menjadi sebuah kerajaan yang amat memperhatikan aspek bahari atau kelautan. Kondisi ini telah mewujudkan Sriwijaya sebagai negara maritim yang kuat.

Sriwijaya ternyata telah mampu mengangkat negerinya sebagai pusat penyebaran agama Buddha. Kemajuan agama Buddha di Sriwijaya bermula dari pembangunan Wihara di Nalanda. Dalam prasasti Nalanda diterangkan bahwa Raja Dewapaladewa dari Benggala (India) telah memberikan sebidang tanah kepada Sriwijaya. Di atas tanah ini, Balaputeradewa kemudian mendirikan Wihara bagi kepentingan para peziarah Sriwijaya yang datang ke Nalanda dengan maksud belajar agama Buddha.para pemuda Sriwijaya yang belajar agama Buddha tinggal di Wihara itu untuk beberapa tahun lamanya. Sesusai menempuh pendidikan di sana, mereka kembali ke Sriwijaya dan kemudian menyebarluaskan pengetahuan agama Buddha kepada masyarakat.

Menurut I-tsing, agama Buddha semakin berkembang ketika banyak pendeta dari negeri Cina dan India berdatangan ke Sriwijaya. Kehadiran mereka semakin memperkaya keberadaan pengetahuan tentang agama Buddha. Mereka melakukan penelitian dan mempelajari ilmu yang ada pada waktu itu. I-tsing sempat menganjurkan kepada para pendeta Cina yang ingin belajar ke India sebaiknya terlebih dahulu mendapatkan pelajaran di Sriwijaya selama dua atau tiga bulan. Sebab, di Sriwijaya ada pendeta Buddha yang masyhur dan telah menjelajah lima negeri di India untuk menambah ilmunya, yaitu syakiakirti. Dia adalah seorang mahaguru Buddha Sriwijaya. Atas bantuan guru besar agama Buddha dari India, yaitu Dharmapala, perguruan di Sriwijaya mencapai kemajuan yang pesat.

Kebesaran kerajaan Sriwijaya mulai surut seak abad ke-11. Kemunduran itu bermula dari serangan besar-besaran yang dilancarkan Kerajaan Cola (India) di bawah pimpinan Raja Rajendra Coladewa pada tahun 1017 dan tahun 1025. Sebelum serangan itu terjadi, sebenarnya antara Sriwijaya (di masa Cudamaniwarmadewa) dan Cola telah terjalin hubungan baik. Namun, semenjak Sriwijaya menerapkan aturan yang ketat di perairan Selat Malaka, perahu-perahu asing yang melewati wilayah itu mendapat perlakuan kurang baik. Perahu-perahu yang lewat dipaksa singgah di Pelabuhan Jambi. Perahu-perahu yang tidak mau singgah akan dikepung atau di serang. Perlakuan Sriwijaya tersebut dianggap oleh Kerajaan Cola sebagai permusuhan, sebab telah menghambat kegiatan perdagangannya dengan negeri Cina. Dalam serangan tersebut, kerajaan Cola berhasil menawan Raja Sriwijaya, Sanggramawijayatunggawarman. Serangan Cola ternyata tidak dimaksudkan untuk menjadikan Sriwijaya sebagai negara bawahan. Oleh karena itu Sriwijaya masih menyandang kedudukan sebagai negara merdeka, namun mundur dan lemah. Peristiwa serangan Kerajaan Cola dapat diketahui dari prasasti Tonjore (1030).

Selain serangan kerajaan Cola, kemunduran Sriwijaya juga disebabkan oleh ekspedisi Pamalayu dari Kerajaan Singhasari pada tahun 1275. Ekspedisi Pamalayu merupakan misi kerajaan Singhasari dibawah Raja Kertanegara yang ingin melemahkan Sriwijaya dengan cara menjalin hubungan persahabatan dengan melayu. Ekspedisi Pamalayu ternyata berhasil membangun kerjasama diantara kedua negara sehinggan melayu lepas dari Sriwijaya dan muncul sebagai kekuatan baru di Sumatera. Akibat ekspedisi Pamalayu, Sriwijaya terpotong wilayah kekuasaannya disebelah utara dan timur. Dengan demikian, peranan Sriwijaya sebagai negara Maritim dan pusat perdagangan semakin tenggelam akibat ekspedisi pamalayu.

Pada sekitar pertengahan abad ke-14 Sriwijaya sudah tidak pernah lagi disebut-sebut dalam sumber sejarah apapun. Kerajaan Sriwijaya benar-benar runtuh akibat serangan Majapahit dari Jawa.

Readmore..

Sejarah Kerajaan Mataram

Sekitar abad ke-8 di Jawa Tengah berdiri Kerajaan Mataram. Munculnya kerajaan ini diterangkan dalam prasasti yang ditemukan di daerah Canggal, di barat daya Magelang. Dalam prasasti canggal diterangkan bahwa Raja Sanjaya telah mendirikan lingga di atas bukit Kunjarakunja (di gunung Wukir) pada tahun 732 masehi. jawa (Mataram) yang kaya akan padi dan emas, mula-mula diperintah oleh Raja Sanna. Setelah Raja Sanna meninggal, negara pecah karena kehilangan pelindung. Penggantinya ialah Raja sanjaya anak Sannaha, saudara perempuan Raja Sanna. Raja Sanjaya berhasil menaklukkan beberapa daerah sekitarnya dan menciptakan kemakmuran bagi rakyatnya. 


Riwayat berdirinya kerajaan Mataram tersurat pula dalam kitab Carita Parahiyangan. Di dalam Carita Parahiyangan diceritakan bahwa Sanna terpaksa turun takhta karena dikalahkan Rahyang Purbasora di Galuh. Ia dan para prajuritnya menyingkir ke lereng Gunung Merapi. Tidak lama anak sannaha, yaitu Sanjaya berhasil membalas kekalahan Raja Sanna. Ia kemudian menguasai Galuh kembali dan menaklukkan Kerajaan-kerajaan kecil di Jawa Barat bagian Timur dan Jawa tengah. Setelah itu Sanjaya mendirikan Kerajaan Mataram yang beribukota di Medang ri Poh pada tahun 717 M.

Kerajaan Mataram diperintah oleh raja-raja dari dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra. Dinasti Sanjaya adalah raja-raja keturunan Sanjaya yang menganut agama hindu, sedangkan dinasti Syailendra adalah raja-raja yang diduga berasal dari India Selatan atau Kamboja yang menganut agama Buddha Mahayana. Menurut beberapa ahli sejarah, antara kedua dinasti terjadi persaingan sehingga mereka secara bergantian memerintah Mataram. Di dalam prasasti Mantyasih (907 M) dan prasasti wanua Tengah III (908 M) disebutkan nama-nama Raja Mataram sebagai berikut.


1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (717-746 M)

2. Rakai Panangkaran Dyah Sankhara (746-784 M)

3. Rakai Panunggalan/Dharanindra (784-803 M)

4. Rakai Warak Dyah manara (803-827 M)

5. Dyah Gula (827-828)

6. Rakai Garung (828-847 M)

7. Rakai Pikatan Dyah Saladu (847-855 M)

8. Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala (855-885 M)

9. Dyah Tagwas (885)

10. Rakai Panumwangan Dyah Dawendra (885-887 M)

11. Rakai Gurunwangi Dyah Wadra (887 M)

12. Rakai watuhumalang Dyah Jbang (894-898 M)

13. Rakai watukura Dyah Walitung (898-913 M)

Raja Sanjaya meninggal pada tahun 746 M. Ia diganti oleh Rakai Panangkaran. Pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran agama Buddha mulai berkembang di Mataram. Dalam prasasti Sankhara (sekitar abad ke-8) yang ditemukan di Sragen (Jawa Tengah), tertulis bahwa Rakai Panangkran telah berpindah dari agama Siwa ke agama Buddha. Ia mendirikan candi Kalasan untuk menghormati dewi Tara. Ia juga membangun biara untuk para bhiksu dan bhiksuni buddha. Sejak saat itu keluarga kerajaan ada yang beragama Hindu dan ada pula yang beragama Buddha. Mereka yang beragama Hindu tinggal di jawa Tengah bagian utara, sedangkan yang menganut agama Buddha berada di wilayah jawa Tengah bagian Selatan.

Agama Buddha mengalami perkembangan yang amat pesat pada masa pemerintahan Samaratungga, anak dari Rakai Panangkaran. Nama samaratungga tidak tercatat dalam silsilah Raja yang tertuang dalam prasasti Mantyasih. Ia diketahui namanya dalam prasasti Nalanda dan prasasti Kayumwungan (824 M). Pada tahun 824 Masehi, ia berhasil membangun Candi Borobudur untuk para penganut agama Buddha. Bangunan ini terdiri atas 10 tingkat yang melambangkan makna bahwa kesempurnaan hidup akan dicapai setelah melampaui 10 tingkatan.

Candi Borobudur menjadi salah satu objek wisata Indonesia yang potensial. Keunikan dari candi tersebut dapat dilihat dari relief, stupa, dan seni arsitektur yang menggunakan bahan tanpa semen, hanya tumpukan batu-batu besar.

Samaratungga mempunyai anak yang bernama Pramodhawardani dan Balaputeradewa. Samaratungga menikahkan ramodhawardani dengan Rakai Pikatan. Balaputeradewa tidak menyetujui perkawinan tersebut karena terancam kedudukannya sebagai putera mahkota Syailendra. Oleh karena itu, timbullah perselisihan antara Balaputeradewa dan Pramodhawardani yang dibantu rakai Pikatan. Dalam pertikaian itu, Balaputeradewa menderita kekalahan sehingga melarikan diri ke Sumatera. Kelak ia menjadi Raja Kerajaan Sriwijaya.


Semenjak Rakai pikatan berkuasa, Kerajaan Mataram menjadi damai dan makmur. Umat hindu dan buddha hidup berdampingan dengan rukun dan damai. Toleransi kehidupan beragama terwujud dalam pembangunan dan pemeliharaan candi-candi secara bergotong royong.


Kerajaan mataram kuno mencapai puncak kejayaannya pada masa kepemimpinan Raja Balitung (898-910 M). Di masa kekuasaannya, daerah-daerah disebelah timur Mataram berhasil ditaklukkannya. Oleh karena itu, daerah kekuasaan Mataram semakin luas, yang meliputi Bagelen (Jawa Tengah) sampai Malang (Jawa Timur).

Sepeninggal Raja Balitung kerajaan Mataram kuno diperintah oleh raja-raja, yakni Daksa (910-919 M), Tulodong (919-924 M), dan Wawa (924-929 M). Namun, tidak ada sumber berarti yang dapat menerangkan peran ketiga nama tersebut.

Pada tahun 929 pusat kerajaan Mataram kuno dipindahkan ke Watugaluh (Jawa Timur) oleh Mpu Sindok. Ia dianggap sebagai pendiri dinasti Isyana. Menurut para sejarawan, perpindahan pusat kerajaan itu dilakukan karena wilayah Maram ditimpa bencana letusan gunung berapi. Masa pemerintahan Mpu Sindok berlangsung aman dan tenteram. Mpu Sindok seringkali memberikan bantuan bagi pembangunan tempat-tempat suci. Dalam bidang sastra muncul kitab suci agama Buddha Tantrayana, yaitu sang Hyang Kamahayanikan.

Pengganti Mpu sindok ialah Raja Dharmawangsa. Demi berbuat bagi kesejahteraan hidup rakyatnya, Dharmawangsa berupaya menguasai jalur perdagangan dan pelayaran yang saat itu dikuasai oleh kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 990 ia mengirim tentaranya ke Sumatera dan Semenanjung Malaka. Misi pasukannya berhasil menaklukkan beberapa daerah pantai di Sriwijaya. Upaya Dharmawangsa diangggap telah membawa kemajuan yang berarti bagi Kerajaannya.

Pada tahun 1016 kekuasaan Dharmawangsa dilanda malapetaka yang mengerikan. Ketika ia sedang menikahkan putrinya dengan Airlangga (Putera mahkota kerajaan Bali), tiba-tiba istana kerajaan diserang oleh tentara Wurawari, raja bawahan Dharmawangsa yang dihasut Sriwijaya. Dalam peristiwa ini hampir semua pembesar kerajaan Mataram kuno gugur. Peristiwa penyerbuan Raja Wurawati terhadap kekuasaan Raja Dharmawangsa ini terkenal dengan sebutan Pralaya Medang.

Pada tahun 1019 Airlangga dinobatkan menjadi raja oleh para pendeta buddha dan para brahmana dengan gelar sri Maharaja Rake Halu Sri lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramotunggadewa. Pada permulaan pemerintahannya, kerajaan diguncang berbagai peperangan yang hebat. Perang yang berkecamuk, misalnya perang menghadapi Raja Bhismaprabhawa, Raja Wengker, dan seseorang ratu di daerah selatan Tulungagung. Semua peperangan ini dimenangkan pihak Airlangga. Bahkan pada tahun 1033 Airlangga berhasil membalaskan kematian mertuanya dengan mengalahkan Raja Wurawati. Sejak saat itu, Airlangga mempersatukan kerajaan yang telah terpecah-pecah untuk memulai upaya pembangunan negerinya.

Pada bidang pemerintahan, Airlangga melakukan perombakan dengan mengangkat orang-orang yang berjasa kepadanya. Dalam bidang ekonomi, Airlangga memerintahkan membangun waduk di daerah Sungai Brantas. Di bidang sastra, muncul karya-karya bermutu, seperti kitab Arjunawiwaha karangan Mpu Kanwa. Di bidang sosial, banyak dibangun tempat-tempat suci, pertapaan, dan asrama-asrama pendeta. Semua upaya pembangunan negeri hanya ditujukan demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Airlangga merupakan seorang raja yang bijaksana. Tatkala puteri mahkota, Sanggramawijaya Dharma Prasadottuggadewi menolak menggantikan takhta Kerajaan, Airlangga tidak lantas marah. Ia justru membangun sebuah pertapaan dii pucangan karena puterinya itu memilih penghidupan sebagai petapa. Selanjutnya, Airlangga menemui kesulitan yang disebabkan Putera Dharmawangsa, Samarawijya menuntut hak atas kerajaan Mataram. Di lain pihak putera Airlangga yang kedua, yaitu Mapanji Garasakan menginginkan pula takhta kerajaan. Hal ini mungkin berakibat timbulnya perebutan kekuasaan.

Pada tahun 1041 M Airlangga memutuskan untuk membagi kerajaannya menjadi dua. Pembagian kerajaan itu dilakukan seorang brahmana yang terkenal kesaktiannya, yakni Mpu Barada. Dua kerajaan itu ialah Janggala dengan ibukota kahuripan dan kerajaan Panjalu dengan ibukota daha. Delapan tahun sesudah pembagian kerajaan, Airlangga wafat. Rakyat kemudian membangun patung Airlangga yang mengendarai burung garuda sebagai kenag-kenangan dan penghormatan atas jasa-jasa yang selama ini telah dilakukan oleh Airlangga terhadap kerajaan
.

Readmore..

Sejarah Kerajaan Singhasari

Kerajaan Singhasari didirikan Ken arok tahun 1222. Para Brahmana menobatkan Ken Arok menjadi Raja dengan gelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Ken Arok merupakan pendiri Dinasti Rajasa atau Girindra yang menurunkan para penguasa di Kerajaan Singhasari dan Kerajaan Majapahit. 

Ken Arok menjadi raja Singhasari selama lima tahun. Riwayatnya tak panjang karena ia dibunuh oleh seseorang atas perintah Anusapati, putra dari perkawinan Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Pembunuhan ini dilatar belakangi perasaan dendam atas kematian ayahnya oleh Ken Arok. Tohjaya, putra dari perkawinan Ken Arok dengan Ken Umang berusaha membalas kematian ayahnya. Pada tahun 1248 anusapati berhasil dibunuh ketika sedang menyabung ayam. Tohijaya naik takhta. Namun, ia hanya berkuasa beberapa bulan sebab terbunuh dalam serangan yang dilancarkan oleh para pengikut Ranggawuni. Ranggawuni (putra Anusapati) kemudian dinobatkan menjadi raja Singhasari dengan gelar Sri Jayawisnuwardhana.

Sejarah kerajaan Singhasari diwarnai peperangan dan saling membunuh diantara sesama saudara. Pemicunya adalah keinginan untuk membalas dendam. Perebutan kekuasaan, penghianatan dan serangkaian pembunuhan telah menjatuhkan korban seperti, Ken Arok (1222-1227). Anusapati (1227-1248), Tohjaya (1248) dan korban-korban lainnya. Menurut kitab Pararaton, peristiwa itu tejadi sebagai buah dari sumpah mpu Gandring.

Sejak dipimpin Ranggawuni segenap kerusuhan di Singhasari mulai berhasil dipadamkan. Raggawuni menjalankan pemerintahan didampingi saudara sepupunya, Mahisa Campaka. Mahisa Campaka diberi kedudukan sebagai Ratu Angabhaya (Raja yang berkuasa atas daerah tertentu). Kedua orang tersebut memerintah sebagai raja bersama yang melambangkan Dewa Wisnu dan dewa Indra. Hasil usaha kedua tokoh ini berhasil mengantarkan Kerajaan singhasari ke puncak kejayaan dibawah pimpinan Kertanegara (1268-1292). Kertanegara berusaha memperluas wilayah kekuasaan Singhasari melalui cakrawala mandala, yaitu politik penaklukkan kerajaan-kerajaan diluar jawa. Pada tahun 1275 ia mengirim Pamalaya ke Kerajaan Melayu sehingga kerajaan tersebut menyatakan berada dibawah naungan Singhasari. Setelah itu, ekspedisi ke daerah lain segera dilancarkan. Ekspedisi itu dilakukan ke Bali, Pahang (Malaysia), sunda, Bakulapura (Kalimantan), dan Gurun (sebelah selatan Bali). Strategi politik ini membawa Singhasari menjadi kerajaan besar di Nusantara.


Bersamaan dengan masa pemerintahan Kertanegara, di Cina berkuasa Kubilai Khan, raja dari Dinasti Mongol. Kubilai khan sangat berambisi menguasai wilayah Asia Tenggara, termasuk Singhasari. Pada tahun 1280 dan 1281 Kubilai Khan mengirimkan utusan ke Singhasari guna meminta Kertanegara mengakui kekuasaan mongol. Namun, Kertanegara selalu menolak. Utusan terakhir tiba di Singhasari tahun 1289. Oleh karena kesal, utusan Kubilai Khan Meng – Chi dikirim kembali setelah dilukai mukanya oleh Kertanegara. Tindakan ini membuat Kubilai Khan marah besar. Sebagai balasan atas penghinaan itu, ia menyiapkan pasukan untuk menyerang singhasari. Pada akhir tahun 1292 dikirimlah pasukan itu ke Jawa dibawah pimpinan tiga orang panglima perang, yaitu Shihpi, Lheh-mi-shih dan Kau Hsing. Kerajaan Singhasari tidak tinggal diam dalam menghadapi kemungkinan serbuan bangsa Mongol. Kertanegara berusaha memperkuat pasukannya dengan menambah jumlah tentaranya. Selain itu ia juga menjalin persahabatan dengan kerajaan-kerajaan lain guna menambah dukungan kekuatan. Persahabatan itu antara lain dilakukan dengan kerajaan Champa di Vietnam. Namun, didalam negeri sendiri Kertanegara mendapat rongrongan dari Jayakatwang, seorang keturunan dari raja Kertajaya (Kediri) yang ingin membangun kembali negerinya. Dengan memanfaatkan keberadaan sebagian pasukan Singhasari yang sedang berada di Melayu, jayakatwang berusaha menyerang singhasari. Kertanegara saaat itu sedang melakukan upacara dengan para Brahmana terbunuh. Menantunya, Raden Wijaya berhasil menyelamatkan diri ke madura. Akhirnya runtuhlah singhasari.

Raja Kertanegara adalah seorang pengikut setia agama siwa-Bhairawa dan Buddha tantrayana. Setelah meninggal ia dicandikan di Singhasari. Candi Singhasari dihiasi dengan tiga buah arca sebagai perwujudan siwa-Buddha dan juga melambangkan perpaduan kepercayaan rakyat Singhasari, yaitu hindu dan buddha.

Ketika tentara mongol datang ke Tanah jawa pada awal tahun 1293, ternyata yang mereka hadapi bukanlah pasukan Singhasari. Tentara mongol harus berhadapan dengan pasukan Jayakatwang. Raden Wijaya yang mengetahui hal itu segera menjalin kerjasama dengan pasukan mongol untuk menyerang Jayakatwang. Tentara Mongol kemudian diakui kekuasaannya oleh Raden Wijaya yang menyetujui aksi serangan itu. Akibatnya pasukan Jayakatwang tidak mampu menahan serbuan pasukan gabungan itu. Setelah mengalahkan Jayakatwang, Raden Wijaya dan pasukannya segera melancarkan serangan terhadap tentara Mongol yang tengah mabuk kemenangan.

Sebanyak lebih dari 3.000 pasukan mongol dapat dibinasakan sehingga akhirnya mereka terusir dari tanah Jawa
.

Readmore..

Sejarah Kerajaan Majapahit

Kerajaan Majapahit berdiri pada tahun 1293 setelah Raden Wijaya berhasil memukul mundur tentara mongol dari Kerajaan Singhasari. Sebelumnya Majapahit merupakan kawasan hutan Tarik yang berada di sekitar delta sungai Brantas (Mojikerto). Atas bantuan Wiraraja, Bupati Sumenep, daerah Tarik kemudian berubah menjadi kawasan yang maju dan diberi nama Majapahit. 

Raden Wijaya (1293-1308) dinobatkan menjadi raja Majapahit pada 1293 dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana. Raden Wijaya mengawini empat orang putri Raja Kertanegara, yaitu Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Prajnaparamita dan Gayatri. Dari Tribhuwaneswari lahir Jayanegara. Dari Gayatri diperoleh dua anak perempuan, yaitu Tribhuanattunggadewi jayawisnuwardhani dan Rajadewi Maharajasa, sedangkan dari Narendraduhita dan Prajnaparamita tidak diperoleh seorang anak pun. Resen Wijaya melakukan perkawinan dengan tujuan untuk memperkuat kedudukan dan agar seluruh warisan Kerajaan Singhasari berpindah kepadanya.

Raden Wijaya memerintah dengan baik dan bijaksana. Orang-orang dahulu yang membantunya diberi imbalan. Arya Wiraraja diberi tanah di Lumajang dan diangkat sebagai penasihat. Nambi dijadikan sebagai Mahapatih. Lembu Sora diangkat sebagai patih di Daha. Ranggalawe menjadi adipati di tuban. Kebo Anabrang yang berperan di dalam ekspedisi pamalayu diangkat sebagai panglima perang. Akan tetapi kebijakan Raden Wijaya tersebut menimbulkan rasa tidak puas bagi Ranggalawe, Ranggalawe tidak menyetujui Nambi menduduki jabatan tinggi sebagai mahapatih. Ia beranggapan dirinyalah atau Lembu Sora yang pantas menjadi mahapatih karena lebih berjasa dan lebih gagah berani di medan pertempuran.

Munculnya pertentangan diantara para pejabat kerajaan kemudian dimanfaatkan oleh Mahapati, seorang tokoh yang berambisi menduduki jabatan tinggi di Kerajaan Majapahit. Mahapati ternyata biang dari semua kerusuhan, sumber fitnah, dan adu domba. Kepada Raden Wijaya diisukan bahwa Ranggalawe akan memberontak sehingga berkobarlah peperangan antara Tuban dan pasukan Kerajaan pada tahun 1295. Dalam pertempuran itu, ranggalawe gugur di tangan Kebo Anabrang. Namun Kebo Anabrang dibunuh pula oleh Lembu Sora karena ia tidak tahan atas kematian sahabatnya itu. Rupanya peristiwa tersebut dijadikan alasan Mahapati untuk menyingkirkan Lembu Sora dengan menghasut raja agar menghukumnya. Oleh karena itu, pertempuran pecah antara Lembu Sora dan pihak Kerajaan pada tahun 1298-1300. Lembu Sora terbunuh dalam peperangan itu, selanjutnya Mahapati tinggal menyingkirkan Nambi. Nambi yang mengetahui niat jahat Mahapati, segera menyingkir dari Majapahit dengan alasan menengok ayahnya (Wiraraja) yang sakit di Lumajang. Dengan demikian cita-cita Mahapati tinggal selangkah lagi akan tercapai, namun Raden Wijaya wafat pada tahun 1309. Raden Wijaya dicandikan dalam candi Sumberjati, di selatan Blitar.


Menurut keterangan prasasti Sukamerta dan Prasasti Balawi, Raja yang memerintah Kerajaan Majapahit menggantikan raden Wijaya ialah Jayanegara (1309-1328). Raja kedua Majapahit ini bergelar Sri Sundarapandyadewadhiswaranamarajabhiseka Wikramotungga-dewa. Dalam masa pemerintahannya, timbul berbagai pemberontakan yang merupakan kelanjutan dari pemberontakan yang terjadi sebelumnya. Peristiwa pemberontakan ini pun disebabkan oleh fitnah Mahapati. Pada tahun 1316 Nambi yang tidak mau kembali ke Majapahit diserbu dan segenap keluarganya dibunuh. Kemudian pasukan semi (1318) dan Kuti (1319) dapat ditumpas dan dibinasakan tokohnya. Sejak adanya peristiwa itu, jayanegara menyadari akan kekeliruannya. Ternyata Mahapati seorang yang berhati jahat dan tukang fitnah sehingga ia lantas ditangkap dan dibunuhnya. Dari beberapa pemberontakan yang terjadi di masa kekasaan jayanegara, serangan Kuti dianggap paling berbahaya. Hal ini dikarenakan serangan itu telah membuat Jayanegara terpaksa mengungsi ke Badander. Namun ia dapat diselamatkan oleh pasukan pengawal Raja (Bhayangkari) di bawah pimpinan Gajah Mada. Sebagai tanda terima kasih, Gajah Mada kemudian diangkat menjadi patih kahuripan .


Di dalam kitab Pararaton dikatakan bahwa Jayanegara sama dengan Kalagemet, anak Raden Wijaya dari hasil perkawinan dengan selirnya. Berbagai pemberontakan yang terjadi umumnya dikarenakan mereka tidak menyetujui Jayanegara menjadi Raja Majapahit, sebab ia bukan keturunan asli Majapahit. Ibunya yang bernama Dara Petak adalah seorang putri Kerajaan Melayu. Jayanegara sendiri hanyalah anak angkat dari permaisuri Tribhuwaneswari.

Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh Tanca, tabib istana. Jayanegara tidak meninggalkan seorang keturunan seorang pun. Pilihan pengganti jatuh kepada Gayatri. Akan tetapi, Gayatri memilih menjadi seorang Biksuni daripada seorang Ratu. Akhirnya, takhta Kerajaan Majapahit ke-3 jatuh kepada anak Gayatrti, yaitu Tribhuwanattunggadewi Jayawisnuwardhani (1328-1350).

Pemerintahan Tribhuwanattunggadewi tidak lepas juga dari usaha pemberontakan . pada tahun 1331 Sadeng dan Keta (daerah besuki) berupaya melepaskan diri dari kekuasaan majapahit, berkat tindakan Gajah Mada ayng taktis, pemberontakan tersebut dengan mudah dapat dipadamkan. Sebagai balas jasa, Gajah Mada diangkat menjadi Mahapati atau Perdana Menteri.

Hayam Wuruk (1350-1389) naik takhta menjadi Raja Majapahit ke-4 dan bergelar Rajasanegara. Ia adaldah putra dari perkawinan Tribhuwanattunggadewi dengan kertawardhana. Hayam Wuruk memerintah dengan didampingi Mahapatih Gajah Mada. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk itulah Kerajaan Majapahit mencapai zaman keemasan. Banyak bukti yang memperlihatkan kebesaran Majapahit.

a. Wilayah kekuasaan dan sistem pemerintahan

Seperti yang dipaparkan dalam kitab Negarakertagama. Daerah-daerah yang berada dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit meliputi Sumatera, Melayu, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian (papua), bahkan beberapa daerah di daratan Asia Tenggara. Hayam Wuruk menerapkan politik yang berwawasan cakrawala mandala seperti yang dilakukan oleh Kertanegara.

Sebagai Kerajaan yang besar, wilayah kekuasaan Majapahit mempunyai sistem kenegaraan yang teratur. Raja Majapahit dan keraton dianggap sebagai pusat dunia yang memiliki kekuasaan tertinggi. Para anggota keluarga kerajaan yang berperan sebagai bhattara di negara-negara bagian, mengelilingi sang raja dari berbagai penjuru.

Raja majapahit memerintah dengan dibantu oleh suatu dewan yang disebut Pahom Narendra atau Bhattara saptaprabhu karena beranggotakan tujuh sesepuh kerajaan. Dewan ini bertugas memberikan saran kepada raja-raja Majapahit. Selain itu, raja Yuwaraja atau kumaraja (raja muda) dan rakyan Mahamantri katrini yang biasanya dijabat oleh para putra raja. Rakyan Mahamantri katrini terdiri dari tiga orang Mahamenteri yang masing-masing bergelar i Hino, i Halu, dan i Sirikan. Sebagai pelaksana pemerintahan, raja menunjuk rakyan Mantri ri Pakirakiran, yaitu sekelompok pejabat tinggi yang merupakan sebuah dewan menteri.

b. Kemajuan di bidang sastra dan bangunan candi

Bidang sastra dan keindahan bangunan candi amat diperhatikan oleh pemerintahan Majapahit. Hal ini menyebabkan para pujangga rajin berkarya. Selain itu, karya-karya yang dihasilkan banyak berisi puji-pujian terhadap raja.


Candi-candi yang dibangun pada saat beridirinya Kerajaan Majapahit, misalnya candi Panataran, Bajangratu, Sawentar, Sumberjati, Tigawangi, Surawana, Jabung, Pari, Tikus, kedaton dan Sukuh.


c. Toleransi Kehidupan beragama

Penduduk Majapahit sebagian besar memeluk agama Hindu dan Buddha. Adanya perbedaan agama di majapahit ternyata amat dihargai. Hal ini dapat dibuktikan dengan aktifnya pihak Kerajaan memperhatikan aspek kehidupan agama yang berbeda itu. Pemerintah telah mengatur kehidupan beragama dengan membentuk Dharmadyhaksa ring Kasaiwan yang mengurus Siwaisme (Hindu pemuja Siwa)dan Dharmadyhaksa ring Kasogatan untuk agama buddha. Selain itu, hayam Wuruk yang memeluk agama Hindu dapat bekerja sama dengan Gajah Mada yang beragama Buddha. Rakyat bahu-membahu membangun Kebesaran Majapahit. Perbedaan agam ternyata tidak menghalangi kerjasama diantara keduanya. Para pembesar Majapahit memberikan teladan yang baik sehingga rakyat bersikap taat.

Gambaran kehidupan berinteraksi di Majapahit dipaparkan dalam kitab Sutasoma karya Mpu Tantular. Kitab ini berisi ajaran agama yang di dalamnya terdapat ungkapan Bhineka Tunggal Ika. Ungkapan ini sesungguhnya digunakan untuk menyatakan bahwa ajaran Hindu dan Buddha, meskipun berbeda tetapi mempunyai asas yang sama. Kini ungkapan tersebut menjadi semboyan bangsa Indonesia yang tertulis di atas pita dalam cengkraman burung garuda.

d. Keadaan sosial ekonomi

Sebagai negara agraris, Majapahit melaksanakan pembangunan ekonomi dengan baik. Sistem pertaniannya sudah sangat maju dengan pengairan yang teratur dan pengolahan yang baik. Ada dua bendungan yang telah dibuat saat itu, yaitu bendungan Jiwu untuk daerah persawahan Kalamasa dan bendungan Trailokyapuri untuk mengaliri daerah hilirnya. Semua ini tergambar dalam prasasti dan relief-relief candi yang dibangun pada masanya.

Majapahit juga memiliki bandar-bandar dagang yang besar, seperti bandar tuban, surabaya, ujung Galuh, canggu dan gresik. Kapal-kapal yang tidak terlalu besar dapat berlayar hingga mendekati ibukota Kerajaan. Di bandar-bandar ini dijual beras dan rempah-rempah yang sangat dibutuhkan konsumen. Wang Ta Yuan, seorang pedagang cina yang pernah berkunjung ke Majapahit berkisah, bahwa lada, garam, kain dan burung kakak tua banyak diperdagangkan disitu.

Kemunduran Majapahit diawali terjadinya peristiwa bubat (1375) yang menimbulkan perselisihan antara Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Ketika itu raja Hayam Wuruk berkeinginan untuk memperistri Dyah Pitaloka, seorang putri dari keajaan di tanah sunda. Beserta keluarganya, sang putri telah tiba di Majapahit untuk melangsungkan perkawinan. Mereka berkemah dilapangan Bubat. Namun, disinilah terjadi perselisihan antara Gajah Mada dan utusan dari kerajaan sunda. Masing-masing bersikeras dengan keputusannya sendiri.

Rupanya perselisihan itu menjadi pertentangan yang keras. Peperangan sudah tidak dapat dihindarkan lagi. Namun, peperangan itu berlangsung tidak seimbang, karena pihak kerajaan sunda hanya sedikit membawa senjata dan peralatan untuk pesta perkawinan. Akhirnya, raja sunda beserta keluarga kerajaan tewas dilapangan Bubat. Mendengar kejadian tersebut, Hayam Wuruk sangat menyesalkannya. Ia kemudian memberhentikan Gajah Mada dari jabatan Mahapatih. Ia tidak lupa untuk memberikan tanah Sima di Madakaripura kepada Gajah Mada.

Selain itu ada juga faktor lain yang menjadi penyebab mundurnya Kerajaan Majapahit, yaitu :

1. Tiada tokoh pengganti yang cakap dan berwibawa sesudah wafatnya Hayam Wuruk (1389) dan Gajah Mada (1364)

2. Perang Paregreg (1401-1406), yakni perang saudara antara pewaris kerajaan (Bhre Wirabumi dan Wikrama-wardhana) telah melemahkan Majapahit secara keseluruhan .

3. Banyak negeri bawahan Majapahit yang berusaha melepaskan diri.

4. Berkembangnya agama Islam di pesisir pantai utara pulau Jawa telah mengurangi dukungan terhadap Kerajaan majapahit.

Masa sesudah Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada merupakan kemunduran kerajaan Majapahit. Keruntuhan kerajaan Majapahit hingga kini masih diperdebatkan . candrasengkala yang berbunyisirna-ilang-kertaning-bumi (1478) sebagai bukti keruntuhan Majapahit masih berbeda penafsirannya. Hal ini disebabkan dalam prasasti Jiwu I yang bertarikh 1486 M. Disebutkan bahwa Girindrawardhana Dyah Ranawijaya masih sebagai sri Paduka Maharaja wilwatikta pura janggala kadiri prabhunata. Hal ini mempunyai makna, pada saat itu Prabu Girindrawardhana masih berkuasa di Kerajaan Majapahit (Wilwatikta)

Readmore..

Sejarah Kerajaan Sunda

Di wilayah Jawa Barat Muncul kerajaan Sunda yang diduga merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanegara yang runtuh pada abad ke-7. Menurut kitab Carita Parahiyangan, sebenarnya lahirnya Tarumanegara telah didahului oleh sebuah kerajaan yang bernama Salakanagara yang beribukota di Rajataputra. Kerajaan salakanagara sebelum diperintah oleh raja Dewawarman (Dharmalokapala) merupakan sekumpulan pedukuhan kecil-kecil yang dikuasai oleh Aki Tirem. Namun,sayang sekali sumber sejarah lain tidak ada yang menguatkannya sehingga keberadaan keraaj tersebut masih diragukan.

Berita pertama kemunculan Kerajaan sunda diperoleh dari prasasti Canggal (732). Prasasti canggal menerangkan , Sanjaya (Raja Mataram) telah mendirikan tempat pemujaan di Kunjarakunja (daerah Wukir). Dia adalah anak Sannaha, saudara perempuan Raja sanna.

Berkenaan dengan hal tersebut, kitab carita parahiyangan mengatakan bahwa raja Sena berkuasa di kerajaan Galuh. Suatu ketika terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Rahyang Purbasora. Raja sena berhasil dikalahkan dan melarikan diri ke Gunung merapi bersama keluarganya. Selanjutnya, sanjaya putra Sannaha berhasil mengalahkan Rahyang Purbasora dan menduduki takhta Galuh. Beberapa waktu kemudian, Raja sanjaya pindah ke Jawa Tengah menjadi raja di Kerajaan Mataram, sedangkan Sunda dan Galuh diserahkan kepada puteranya, Rahyang Tamperan. Sampai saat ini para ahli masih berbeda pendapat mengenai keterkaitan antara tokoh Sanna dan sanjaya di dalam prasasti Canggal dengan raja sena dan Sanjaya di dalam kitab carita parahiyangan.


Dalam waktu yang cukup lama tidak diketahui perkembangan keadaan Kerajaan Sunda selanjutnya. Kerajaan Sunda baru muncul lagi pada tahun 1030 ketika dipimpin oleh Maharaja Sri Jayahbhupati. Nama Sri Jayabhupati terdapat pada Sang Hyang Tapak yang ditemukan di daerah Cibadak (Sukabumi). Ia bergelar Wikramottunggadewa, sebuah gelar yang sering digunakan pemerintahan Airlangga di Mataram. Adanya gelar tersebut menimbulkan bermacam dugaan. Sri Jayabhupati mungkin takluk-kan Airlangga, atau sebaliknya musuh airlangga, atau tak ada keterkaitan sama sekali. Yang jelas, Sri Jayabhupati menegaskan dirinya sebagai Hajiri ri sunda (Raja di Sunda). Pada masa pemerintahannya ibukota kerajaan Sunda adalah Pakuan Pajajaran.

Pengganti Sri Jayabhupati adalah Prabu Raja wastu (Rahyang Niskala Wastu Kancana). Ia memindahkan ibukota kerajaan dari pakuan Pajajaran ke Kawali (Ciamis) dan membangun istana di Surawisesa. Setelah meninggal , Prabu raja wastu digantikan oleh anaknya, Rahyang Ningrat Kencana (Rahyang Dewa Niskala). Selanjutnya tampuk pemerintahan jatuh kepada sri baduga Maharaja. Pada masa pemerintahannya, kerajaan Sunda dirundung duka dengan terjadinya peristiwa Bubat (1357). Dalam peristiwa Bubat itu hampir seluruh pasukan sunda gugur di daerah Kerajaan Majapahit. Keadaan ini tidak berarti bahwa sunda tidak mempunyai raja lagi.

Ketika peristiwa bubat terjadi, putra mahkota kerajaan sunda, Niskala wastu Kancana masih kecil, sehingga untuk sementara waktu pemerintahan dipegang oleh Hyang bunisora (1357-1371). Setelah menginjak dewasa, Niskala wastu Kancana (1371-1474) menerima kembali tampuk kekuasaan dari Hyang bunisora. Ia memerintah cukup lama, yaitu 104 tahun. Masa pemerintahan yang panjang ini disebabkan Niskala Wastu Kancana menjalankan pemerintahan dengan baik. Selalu menaati ajaran agama dan memperhatikan kesejahteraan rakyat. Berbeda dengan penggantinya, Ningrat Kencana (1474-1482) banyak melanggar tradisi-tradisi raja sunda. Akibatnya ia kurang disenangi rakyat dan masa pemerintahannya relatif pendek.

Ningrat Kencana diganti oleh Sang Ratu Jayadewata (1482-1521). Sang Ratu Jayadewata memindahkan ibukota kerajaan dari Kawali ke Pakuan Pajajaran. Pada saat itu pengaruh islam mulai memasuki Kerajaan sunda. Penduduk di wilayah utara sudah banyak menganut islam, terutama di daerah Banten dan Cirebon. Dalam menghadapi situasi seperti itu, raja berusaha menjalin persekutuan dengan portugis di Malaka. Pada tahun 1512 dan 1521 di kirimlah utusan ke Malaka dibawah pimpinan prabu Surawisesa (1521-1535), Putra mahkota kerajaan sunda.


Prabu Surawisesa kemudian menggantikan takhta sang Ratu Jayadewata. Di tengah-tengah masa kekuasaannya, pelabuhan besar Sunda kelapa jatuh ke tangan Kerajaan islam Banten. Portugis yang menjanjikan bantuannya ternyata tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya pusat kerajaan sunda terputus hubungannya dengan daerah luar. Pengganti Surawisesa, Prabu ratudewata (1535-1543) harus menjalani masa-masa kritis dengan adanya serangan tentara Islam yang bertubi-tubi. Akan tetapi, sejauh itu kedaulatan Kerajaan Sunda masih dapat dipertahankan.
Prabu Ratudewata dalam kesehariannya lebih berperan sebagai pendeta daripada sebagai raja, bahkan tidak menghiraukan kesejahteraan rakyat. Raja yang kemudian menggantikannya, yaitu sang Ratu Saksi (1543-1551) ternyata seorang raja kejam dan selalu hidup bersenang-senang. Demikian penggantinya, Tohaan Di Majaya (1551-1567) malah memperindah istana, suka mabuk-mabukan, berfoya-foya dan melupakan tugas kerajaan. Keadaan ini diperparah dengan gencarnya serangan Islam dari sebelah Utara. Akibatnya, pada masa pemerintahan Nusiya Mulya, negara sudah lemah sekali sehingga mudah dikalahkan tentara Islam banten pada akhir abad ke-16.


Pada masa kekuasaan raja-raja sunda, aspek sosial ekonomi rakyat cukup mendapat perhatian. Meskipun pusat kekuasaan kerajaan sunda berada di pedalaman, namun hubungan dagang dengan daerah atau bangsa lain berjalan baik. Kerajaan sunda memiliki pelabuhan-pelabuhan penting, seperti Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda kelapa dan Cimanuk. Di kota-kota tersebut diperdagangkan lada, beras, sayur-sayuran, buah-buahan dan hewan piaraan. Disamping kegiatan perdagangan , pertanian merupakan kegiatan yang banyak digeluti rakyat. Cara bertani yang dilakukan umumnya berladang atau berhuma. Aktivitas berladang memiliki ciri kehidupan selalu berpindah-pindah. Hal ini ternyata menjadi salah satu bagian tradisi sosial kerajaan sunda yang dibuktikan seringnya memindahkan pusat kerajaan. Oleh karena itu, kerajaan sunda tidak banyak meninggalkan keraton yang permanen, candi atau prasasti-prasasti. Candi yang paling dikenal di Jawa Barat hanyalah candi Cangkuang yang berada di Leles, garut.

Candi cangkuang yang ditemukan tahun 1966 susunan bangunannya bersorak Siwaistis. Keterkaitan candi cangkuang dengan kerajaan sunda kurang begitu jelas. Namun, karena lokasi candi tersebut berada di daerah kekuasaan kerajaan sunda, maka dapatlah diduga bahwa masyarakat sunda lebih dipengaruhi agama Hindu daripada Buddha.


Readmore..

Sejarah Kerajaan Bali

Nama Bali ternyata telah dikenal pada masa kekuasaan Dinasti Tang di Cina. Mereka menyebut Bali dengan Po-li atau Dwa-pa-tan, yakni sebuah negeri yang terletak disebelah timur Kerajaan Ho-ling. Masyarakat Dwa-pa-tan mempunyai adat istiadat yang hampir sama dengan Ho-ling. Pada saat itu penduduk telah pandai menulis di atas lontar. Mereka telah dapat menanam padi dengan baik. Setiap penduduk yang meninggal, mayatnya diberi perhiasan emas yang dimasukkan ke dalam mulutnya, kemudian dibakar dengan wangi-wangian.

Berita tertua mengenai Bali sumbernya berasal dari Bali sendiri, yakni berupa beberapa buah cap kecil dari tanah liat yang berukuran 2,5 cm yang ditemukan di Pejeng. Cap-cap ini ditulisi mantra-mantra agama Buddha dalam bahasa Sansekerta yang diduga dibuat sekitar abad ke-8 Masehi. adapun prasasti tertua Bali yang berangka tahun 882 M memberitakan perintah membuat pertapaan dan pesanggrahan di Bukit Cintamani. Di dalam prasasti tersebut tidak ditulis nama Raja yang memerintah pada waktu itu. Demikian pula prasasti yang berangka tahun 911 M. Hanya menjelaskan pemberitaan izin kepada penduduk Desa Turunan untuk membangun tempat suci bagi pemujaan Batara da Tonta.

Munculnya kerajaan Bali dapat diketahui dari tiga prasasti yang ditemukan di Belonjong (sanur), panempahan, dan Maletgede yang berangka tahun 913 M. Prasasti-prasasti tersebut ditulis dengan huruf Nagari dan Kawi, sedangkan bahasanya ialah Bali kuno dan Sansekerta. Dari prasasti – prasasti tersebut tertulis Raja Bali yang bernama Kesariwarmadewa. Ia bertakhta di Istana Singhadwala (pintu istana negara singha). Ia adalah Raja yang mendirikan Dinasti Warmadewa di Bali. Dua tahun kemudian Kesariwarmadewa diganti oleh Ugrasena. Raja Ugrasena yang bertakhta di istana Singhamandawa memerintah kerajaan sampai tahun 942 M. Masa pemerintahannya sezaman dengan pemerintahan Mpu Sindok di Kerajaan Mataram. Selama tujuh tahun berikutnya tidak diketahui raja penerus Ugrasena. Setelah itu, muncul Raja Bali bernama Aji Tabenendra warmadewa (955-967).


Di tengah-tengah masa pemerintahan Tabenendra, pada tahun 960 muncul raja Bali lain, yaitu Indra Jayasingha warmadewa (Candrabhayasingha warmadewa). Pengganti Candrabhayasingha , yaitu Janasadhu warmadewa (975-983),kemudian Wijaya Mahadewi (983-989). Setelah itu muncul raja Bali yang bernama Udayana (989-1011) dan bergelar Sri Dharmodayana warmadewa. Udayana memerintah Kerajaan Bali bersama-sama dengan permaisurinya, Gunapriya Dharmapatni yang dikenal dengan nama Mahendradatta. Dari hasil perkawinan Udayana dengan Mahendradatta lahir tiga orang putra yaitu Airlangga, Marakatapangkaja dan Anak Wungsu. Airlangga yang menjadi putra mahkota ternyata tidak pernah memerintah di Bali, sebab ia pergi ke Jawa Timur dan menikah dengan putri Dharmawangsa, Raja Mataram. Oleh karena itu, pewaris kerajaan bali jatuh kepada Marakatapangkaja (1011-1022). Ia dianggap sebagai kebenaran hukum yang selalu melindungi rakyatnya. Ia juga memperhatikan kehidupan rakyat sehingga disegani dan di taati. Masa pemerintahan Marakatapangkaja sezaman dengan Airlangga di Jawa Timur. Dari tahun 1022 sampai tahun 1049 tidak dipaparkan berita mengenai raja yang memerintah Bali.

Anak wungsu (1049-1077) kemudian melanjutkan kekuasaan Marakatapangkaja. Ia dikenal sebagai raja yang penuh belas kasihan terhadap rakyatnya. Ia pun senantiasa memikirkan kesempurnaan dunia yang dikuasainya. Selama masa pemerintahannya, ia berhasil mewujudkan negara yang aman, damai dan sejahtera. Penganut agama hindu dapat hidup berdampingan dengan agama Buddha. Anak Wungsu sempat pula membangun sebuah kompleks percandian di gunung Kawi (sebelah selatan Tampaksiring) yang merupakan peninggalan terbesar di Bali. Atas perannya yang gemilang itu, Anak Wungsu kemudian dianggap rakyatnya sebagai penjelmaan Dewa Hari (Dewa Kebaikan).

Anak Wungsu tidak meninggalkan seorang putra pun. Raja yang memerintah setelah Anak Wungsu adalah Walaprabhu dan Bhatara Mahaguru Dharmotungga warmadewa. Setelah itu tidak ada lagi raja yang berkuasa dari Dinasti Warmadewa. Raja dari dinasti lain yang muncul ialah Sri Jayasakti (1133-1150). Masa pemerintahan Jayasakti sezaman dengan Raja Jayabhaya di kerajaan Kediri. Pada saat itu agama Buddha, Siwaisme dan Waisnawa berkembang dengan baik. Sri Jayasakti disebut sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Sebagai raja yang bijaksana, ia memerintah kerajaan berdasarkan pedoman hukum yang didasari rasa keadilan dan kemanusiaan. Kitab undang-undang yang berlaku ialah utara-widhi-balawan dan Rajawacana.

Raja Bali yang terkenal lainnya ialah Jayapangus (1177-1181). Di dalam kitab Usana Bali disebutkan bahwa Jayapangus memerintah setelah Jayakusunu. Dari 43 prasasti yang ditinggalkannya, Jayapangus banyak menyebut dua orang permaisurinya, yaitu Arkajalancana dan Sasangkajacihna. Arkaja bermakna putri Matahari, sedangkan Sasangkaja berarti putri bulan. Setela h Jayapangus meninggal, raja-raja Bali yang memerintah tidak begitu terkenal, karena sumber sejarahnya tidak banyak diketahui.


Masyarakat kerajaan Bali menerima pengaruh budaya Hindu dan Buddha melalui daerah Jawa Timur. Hal ini dapat diketahui karena Bali pernah dikuasai oleh kerajaan-kerajaan di Jawa Timur. Yaitu pada abad ke-10 oleh kerajaan Singhasari dan abad ke-14 oleh kerajaan Majapahit. Selain itu, ketika Majapahit runtuh, banyak penduduk yang tidak mau beragama Islam lantas menyeberang ke Bali. Dalam perkembangan kerajaan-kerajaan di Bali, ternyata jumlah Pedanda (pendeta) agama siwa yang bergelar Dang Acaryya lebih banyak daripada pedanda Buddha yang bergelar Dang Upadhyaya. Hal ini menunjukkan bahwa agama hindu pengaruhnya lebih besar daripada agama Budhha. Namun, agama hindu yang berkembang di Bali telah tercampur dengan adat istiadat setempat, sehingga Hindu khas di Bali saat ini disebut Hindu Dharma.


Dari keterangan prasasti-prasasti di Bali diketahui bahwa umumnya masyarakat Bali telah dapat bercocok tanam di sawah, Parlak (sawah kering), gaga (ladang), kebwan (kebun) dan mmal (ladang daerah pegunungan). Jenis tanaman yang sudah dikenal, antara lain padi gaga, kelapa, bambu, enau, kemiri, bawang merah, jahe, wortel dan lain-lain. Selain itu rakyat telah mampu beternak itik, kambing, sapi, kerbau, anjing, kuda, ayam, babi dan burung. Rupanya, binatang yang paling berharga pada saat itu adalah kuda. Kuda merupakan binatang yang paling cocok untuk membawa barang dagangan yang melintasi daerah pegunungan. Kegiatan perdagangan pun sudah cukup maju. Dibeberapa desa terdapat golongan saudagar yang disebut wanigrama (saudagar laki-laki) dan wanigrami (saudagar perempuan). Mereka memiliki kepala atau pejabat yang mengurus kegiatan perdagangan yang disebut Banigrama atau Banigrami. Setiap kegiatan usaha penduduk telah dikenakan pajak atau iuran yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintah kerajaan.

Readmore..
 
© Copyright 2013Sejarah Kerajaan