Sejarah Kerajaan Mataram

Sekitar abad ke-8 di Jawa Tengah berdiri Kerajaan Mataram. Munculnya kerajaan ini diterangkan dalam prasasti yang ditemukan di daerah Canggal, di barat daya Magelang. Dalam prasasti canggal diterangkan bahwa Raja Sanjaya telah mendirikan lingga di atas bukit Kunjarakunja (di gunung Wukir) pada tahun 732 masehi. jawa (Mataram) yang kaya akan padi dan emas, mula-mula diperintah oleh Raja Sanna. Setelah Raja Sanna meninggal, negara pecah karena kehilangan pelindung. Penggantinya ialah Raja sanjaya anak Sannaha, saudara perempuan Raja Sanna. Raja Sanjaya berhasil menaklukkan beberapa daerah sekitarnya dan menciptakan kemakmuran bagi rakyatnya. 


Riwayat berdirinya kerajaan Mataram tersurat pula dalam kitab Carita Parahiyangan. Di dalam Carita Parahiyangan diceritakan bahwa Sanna terpaksa turun takhta karena dikalahkan Rahyang Purbasora di Galuh. Ia dan para prajuritnya menyingkir ke lereng Gunung Merapi. Tidak lama anak sannaha, yaitu Sanjaya berhasil membalas kekalahan Raja Sanna. Ia kemudian menguasai Galuh kembali dan menaklukkan Kerajaan-kerajaan kecil di Jawa Barat bagian Timur dan Jawa tengah. Setelah itu Sanjaya mendirikan Kerajaan Mataram yang beribukota di Medang ri Poh pada tahun 717 M.

Kerajaan Mataram diperintah oleh raja-raja dari dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra. Dinasti Sanjaya adalah raja-raja keturunan Sanjaya yang menganut agama hindu, sedangkan dinasti Syailendra adalah raja-raja yang diduga berasal dari India Selatan atau Kamboja yang menganut agama Buddha Mahayana. Menurut beberapa ahli sejarah, antara kedua dinasti terjadi persaingan sehingga mereka secara bergantian memerintah Mataram. Di dalam prasasti Mantyasih (907 M) dan prasasti wanua Tengah III (908 M) disebutkan nama-nama Raja Mataram sebagai berikut.


1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (717-746 M)

2. Rakai Panangkaran Dyah Sankhara (746-784 M)

3. Rakai Panunggalan/Dharanindra (784-803 M)

4. Rakai Warak Dyah manara (803-827 M)

5. Dyah Gula (827-828)

6. Rakai Garung (828-847 M)

7. Rakai Pikatan Dyah Saladu (847-855 M)

8. Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala (855-885 M)

9. Dyah Tagwas (885)

10. Rakai Panumwangan Dyah Dawendra (885-887 M)

11. Rakai Gurunwangi Dyah Wadra (887 M)

12. Rakai watuhumalang Dyah Jbang (894-898 M)

13. Rakai watukura Dyah Walitung (898-913 M)

Raja Sanjaya meninggal pada tahun 746 M. Ia diganti oleh Rakai Panangkaran. Pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran agama Buddha mulai berkembang di Mataram. Dalam prasasti Sankhara (sekitar abad ke-8) yang ditemukan di Sragen (Jawa Tengah), tertulis bahwa Rakai Panangkran telah berpindah dari agama Siwa ke agama Buddha. Ia mendirikan candi Kalasan untuk menghormati dewi Tara. Ia juga membangun biara untuk para bhiksu dan bhiksuni buddha. Sejak saat itu keluarga kerajaan ada yang beragama Hindu dan ada pula yang beragama Buddha. Mereka yang beragama Hindu tinggal di jawa Tengah bagian utara, sedangkan yang menganut agama Buddha berada di wilayah jawa Tengah bagian Selatan.

Agama Buddha mengalami perkembangan yang amat pesat pada masa pemerintahan Samaratungga, anak dari Rakai Panangkaran. Nama samaratungga tidak tercatat dalam silsilah Raja yang tertuang dalam prasasti Mantyasih. Ia diketahui namanya dalam prasasti Nalanda dan prasasti Kayumwungan (824 M). Pada tahun 824 Masehi, ia berhasil membangun Candi Borobudur untuk para penganut agama Buddha. Bangunan ini terdiri atas 10 tingkat yang melambangkan makna bahwa kesempurnaan hidup akan dicapai setelah melampaui 10 tingkatan.

Candi Borobudur menjadi salah satu objek wisata Indonesia yang potensial. Keunikan dari candi tersebut dapat dilihat dari relief, stupa, dan seni arsitektur yang menggunakan bahan tanpa semen, hanya tumpukan batu-batu besar.

Samaratungga mempunyai anak yang bernama Pramodhawardani dan Balaputeradewa. Samaratungga menikahkan ramodhawardani dengan Rakai Pikatan. Balaputeradewa tidak menyetujui perkawinan tersebut karena terancam kedudukannya sebagai putera mahkota Syailendra. Oleh karena itu, timbullah perselisihan antara Balaputeradewa dan Pramodhawardani yang dibantu rakai Pikatan. Dalam pertikaian itu, Balaputeradewa menderita kekalahan sehingga melarikan diri ke Sumatera. Kelak ia menjadi Raja Kerajaan Sriwijaya.


Semenjak Rakai pikatan berkuasa, Kerajaan Mataram menjadi damai dan makmur. Umat hindu dan buddha hidup berdampingan dengan rukun dan damai. Toleransi kehidupan beragama terwujud dalam pembangunan dan pemeliharaan candi-candi secara bergotong royong.


Kerajaan mataram kuno mencapai puncak kejayaannya pada masa kepemimpinan Raja Balitung (898-910 M). Di masa kekuasaannya, daerah-daerah disebelah timur Mataram berhasil ditaklukkannya. Oleh karena itu, daerah kekuasaan Mataram semakin luas, yang meliputi Bagelen (Jawa Tengah) sampai Malang (Jawa Timur).

Sepeninggal Raja Balitung kerajaan Mataram kuno diperintah oleh raja-raja, yakni Daksa (910-919 M), Tulodong (919-924 M), dan Wawa (924-929 M). Namun, tidak ada sumber berarti yang dapat menerangkan peran ketiga nama tersebut.

Pada tahun 929 pusat kerajaan Mataram kuno dipindahkan ke Watugaluh (Jawa Timur) oleh Mpu Sindok. Ia dianggap sebagai pendiri dinasti Isyana. Menurut para sejarawan, perpindahan pusat kerajaan itu dilakukan karena wilayah Maram ditimpa bencana letusan gunung berapi. Masa pemerintahan Mpu Sindok berlangsung aman dan tenteram. Mpu Sindok seringkali memberikan bantuan bagi pembangunan tempat-tempat suci. Dalam bidang sastra muncul kitab suci agama Buddha Tantrayana, yaitu sang Hyang Kamahayanikan.

Pengganti Mpu sindok ialah Raja Dharmawangsa. Demi berbuat bagi kesejahteraan hidup rakyatnya, Dharmawangsa berupaya menguasai jalur perdagangan dan pelayaran yang saat itu dikuasai oleh kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 990 ia mengirim tentaranya ke Sumatera dan Semenanjung Malaka. Misi pasukannya berhasil menaklukkan beberapa daerah pantai di Sriwijaya. Upaya Dharmawangsa diangggap telah membawa kemajuan yang berarti bagi Kerajaannya.

Pada tahun 1016 kekuasaan Dharmawangsa dilanda malapetaka yang mengerikan. Ketika ia sedang menikahkan putrinya dengan Airlangga (Putera mahkota kerajaan Bali), tiba-tiba istana kerajaan diserang oleh tentara Wurawari, raja bawahan Dharmawangsa yang dihasut Sriwijaya. Dalam peristiwa ini hampir semua pembesar kerajaan Mataram kuno gugur. Peristiwa penyerbuan Raja Wurawati terhadap kekuasaan Raja Dharmawangsa ini terkenal dengan sebutan Pralaya Medang.

Pada tahun 1019 Airlangga dinobatkan menjadi raja oleh para pendeta buddha dan para brahmana dengan gelar sri Maharaja Rake Halu Sri lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramotunggadewa. Pada permulaan pemerintahannya, kerajaan diguncang berbagai peperangan yang hebat. Perang yang berkecamuk, misalnya perang menghadapi Raja Bhismaprabhawa, Raja Wengker, dan seseorang ratu di daerah selatan Tulungagung. Semua peperangan ini dimenangkan pihak Airlangga. Bahkan pada tahun 1033 Airlangga berhasil membalaskan kematian mertuanya dengan mengalahkan Raja Wurawati. Sejak saat itu, Airlangga mempersatukan kerajaan yang telah terpecah-pecah untuk memulai upaya pembangunan negerinya.

Pada bidang pemerintahan, Airlangga melakukan perombakan dengan mengangkat orang-orang yang berjasa kepadanya. Dalam bidang ekonomi, Airlangga memerintahkan membangun waduk di daerah Sungai Brantas. Di bidang sastra, muncul karya-karya bermutu, seperti kitab Arjunawiwaha karangan Mpu Kanwa. Di bidang sosial, banyak dibangun tempat-tempat suci, pertapaan, dan asrama-asrama pendeta. Semua upaya pembangunan negeri hanya ditujukan demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Airlangga merupakan seorang raja yang bijaksana. Tatkala puteri mahkota, Sanggramawijaya Dharma Prasadottuggadewi menolak menggantikan takhta Kerajaan, Airlangga tidak lantas marah. Ia justru membangun sebuah pertapaan dii pucangan karena puterinya itu memilih penghidupan sebagai petapa. Selanjutnya, Airlangga menemui kesulitan yang disebabkan Putera Dharmawangsa, Samarawijya menuntut hak atas kerajaan Mataram. Di lain pihak putera Airlangga yang kedua, yaitu Mapanji Garasakan menginginkan pula takhta kerajaan. Hal ini mungkin berakibat timbulnya perebutan kekuasaan.

Pada tahun 1041 M Airlangga memutuskan untuk membagi kerajaannya menjadi dua. Pembagian kerajaan itu dilakukan seorang brahmana yang terkenal kesaktiannya, yakni Mpu Barada. Dua kerajaan itu ialah Janggala dengan ibukota kahuripan dan kerajaan Panjalu dengan ibukota daha. Delapan tahun sesudah pembagian kerajaan, Airlangga wafat. Rakyat kemudian membangun patung Airlangga yang mengendarai burung garuda sebagai kenag-kenangan dan penghormatan atas jasa-jasa yang selama ini telah dilakukan oleh Airlangga terhadap kerajaan
.

 
© Copyright 2013Sejarah Kerajaan